Jumat, 23 Maret 2012

"Kasus KKN Yang Menghancurkan Jalan Bisnis Dan Politik Di Indonesia"

Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Padahal cita–cita didirikannya negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencapai masyarakat adil dan makmur. Salah satu komponen untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah penyelenggaraan negara yang efisien, efektif, dan bersih dan praktek-praktek yang merugikan kepentingan negara dan bangsa. Penyelenggaraan negara dapat terlaksana apabila aparatur negara termasuk aparatur pemerintah di dalamnya dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, profesional, transparan, akuntabel, taat pada aturan hukum, responsif dan proaktif, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dan bukan mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok atau partai yang berkuasa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kondisi yang dijumpai selama ini, ternyata berbeda dengan harapan. Selama tiga dekade terakhir, telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam penyelenggaraan negara. Akibatnya, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya tidak dapat berfungsi dengan baik, dan partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak dapat berkembang. Akibat lainnya, kegiatan penyelenggaraan negara cenderung mengarah pada praktek-praktek yang lebih menguntungkan kelompok tertentu yang pada akhirnya menyuburkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
Berbagai praktek yang membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efisien dan efektif dan menyuburkan praktek KKN antara lain: (1) dominasi partai yang berkuasa dalam lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang akhirnya menghambat pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga tersebut; (2) badan-badan peradilan baik organisasi, keuangan, dan sumber daya manusianya berada dibawah lembaga eksekutif, sehingga menghambat penegakan hukum secara adil dan obyektif; (3) moonoloyalitas pegawai negeri dan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) kepada partai yang berkuasa yang pada akhirnya membuat aparatur pemerintah cenderung mendahulukan kepentingan kelompok dari pada kepentingan bangsa dan negara baik dalam pengambilan kebijaksanaan maupun dalam pelaksanaannya; serta (4) terlalu besarnya kewenangan pemerintah pusat dan terlalu kecilnya kewenangan pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri mendorong timbulnya ketidakpuasan dan menghambat partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan di berbagai daerah.
Kurang berfungsinya lembaga-lembaga tersebut di atas, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab meluas dan semakin parahnya krisis moneter dan ekonomi dalam dua tahun terakhir ini yang telah berkembang dan mengakibatkan gejolak sosial dan politik yang ditandai dengan rusaknya tatanan ekonomi dan keuangan, pengangguran yang meluas, serta kemiskinan yang menjurus pada ketidakberdayaan masyarakat dan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah termasuk aparatur pemerintahan di pusat dan daerah. Hal ini tidak saja merugikan negara dan masyarakat secara materi tetapi juga secara sosial dan budaya.
Contoh Kasus
Kasus HM Soeharto (HMS)
Pemerintah telah meneliti tujuh Yayasan yang diketuai oleh HMS, yaitu Yayasan Dharmais, DAKAB, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Gotong Royong, dan Trikora. Hasil penelitian Pemerintah yang telah dilaksanakan terutama mengenai perolehan dan penggunaan dana Yayasan.
Dana yayasan diperoleh dari berbagai sumber seperti setoran para pendiri, sumbangan dari Korpri, ABRI, karyawan perusahaan swasta serta individu lainnya, sumbangan dari perusahaan swasta, BUMN, instansi Pemerintah, sumbangan dari Bank Pemerintah berupa 2,5% dari laba bersih, sumbangan Wajib Pajak yang ditetapkan dengan Keppres No. 90 Tahun 1995 jo Keppres No. 92 Tahun 1996, dana Banpres, dana reboisasi, dan bahkan APBN (tahun 1997/1998).
Anggaran Dasar Yayasan menetapkan bahwa dana Yayasan yang tidak segera dibutuhkan disimpan/dijalankan menurut cara-cara yang ditentukan oleh pengurus dan diperlukan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Ketua Yayasan. Namun dalam penelitian ditemukan bahwa selain digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan tujuan Yayasan, terdapat pengeluaran lain yang menyimpang dari Anggaran Dasar Yayasan. Dana Yayasan dipinjamkan tanpa bunga kepada kelompok Nusamba, dipinjamkan dengan bunga 16% per tahun kepada PT Kiani Kertas dan Kiani Sakti, penyertaan modal Yayasan kepada PT. Sempati, Kelompok Nusamba, Bank Umum Nasional, dan Bank Perkreditan Rakyat, serta disimpan dalam deposito.
Penelitian atas Yayasan yang diketuai oleh HMS menunjukkan adanya Keputusan Presiden dan Peraturan lainnya yang membebani masyarakat dengan berbagai sumbangan. Peraturan tersebut, khususnya Keputusan Presiden No. 90 Tahun 1995 jo Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1996 bertentangan dengan amanat dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan bahwa setiap tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Di samping itu, terdapat indikasi H. M. Soeharto, selaku Ketua Yayasan, tidak mematuhi sepenuhnya Anggaran Dasar Yayasan dalam penggunaan dana-dana Yayasan. Oleh karena ada dugaan penyimpangan tersebut, kasus Yayasan HMS ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Sebagai tindak lanjut penanganan Yayasan HMS, Pemerintah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menerbitkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1998 yang menghentikan dana-dana yang masuk ke Yayasan dengan mencabut Keppres No. 90 Tahun 1995 dan No. 92 Tahun 1996;
b. Menerbitkan Instruksi Presiden No. 20 Tahun 1998 yang ditujukan kepada para Menteri, Gubernur/KDH Tingkat I, Kepala LPND, Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/BUMD untuk mencabut semua ketentuan Menteri/Kepala LPND/Gubernur/Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/BUMD yang menjadi dasar perolehan dana bagi semua Yayasan, termasuk Yayasan yang diketuai oleh HMS. Sebagai tindak lanjut Inpres No. 20 Tahun 1998 tersebut, Menteri Keuangan telah mengeluarkan surat No. S.475/MK.01/1998 untuk mencabut fasilitas pembebasan pajak atas bunga deposito dan tabungan kepada 11 Yayasan, yaitu: Yayasan Supersemar, Badan Pengelola Dana ONH, Yayasan DAKAB, Yayasan Amal Abadi Bea Siswa ORBIT, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dharma Tirta, Yayasan Amal Bhakti Ibu, Lembaga GNOTA, Yayasan Dharmais dan Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putra Kostrad;
c. Melaksanakan audit legal dan finansial terhadap Yayasan yang menerima dana berdasarkan Keppres No. 90 Tahun 1995 dan No. 92 Tahun 1996;
d. Menagih dan menarik kembali dana Yayasan yang dipinjamkan atau yang digunakan oleh kroni-kroni HMS, yaitu Kelompok Nusamba dan PT Kiani Kertas. Ketua Kelompok Nusamba/Komisaris Utama PT Kiani Sakti/ PT Kiani Lestari/ PT Kiani Kertas tanggal 14 Agustus 1999 menyatakan bersedia membayar pinjaman tersebut beserta bunga yang belum dibayar dalam jangka waktu satu tahun. Menko Bidang Kesra dan Taskin melalui surat No. B-190/Menko/Kesra/VIII/1999 tanggal 20 Agustus 1999 menyatakan bahwa dengan kesediaan tersebut tidak ada lagi dana Yayasan yang dipinjamkan;
e. Koordinasi pelaksanaan operasional tujuh Yayasan HMS, sejak tanggal 22 November 1998, diserahkan oleh HMS kepada Pemerintah c.q. Menteri Negara Koordinator Bidang Kesra dan Taskin. Penugasan kepada Menko Kesra dan Taskin tersebut dikukuhkan dengan Keputusan Presiden No. 195 Tahun 1998.
Pemerintah telah pula meneliti kebijaksanaan Mobil Nasional (Mobnas) dalam kaitan dengan kemungkinan adanya KKN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa materi Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 telah mengubah dan memperluas pengertian mobil nasional yaitu mobil yang dibuat di luar negeri oleh tenaga kerja Indonesia diperlakukan sama dengan mobil nasional yang dibuat di dalam negeri sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996. Padahal dalam kenyataannya, tenaga kerja Indonesia yang dilaporkan PT Timor Putra Nasional sebagai pembuat mobil nasional di luar negeri (Korea Selatan), sebenarnya hanyalah tenaga kerja magang raja. Juga ditemukan bahwa Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996 dan Keppres No. 42 Tahun 1996 diterbitkan pada tanggal yang sama (yaitu 4 Juni 1996), sehingga diperlukan penyelidikan menurut hukum, untuk mengetahui apakah ada penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Keppres No. 42 Tahun 1996, dan apakah penerbitan Keppres No. 42 Tahun 1996 tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kroni tertentu.
Kasus KKN yang melibatkan kroni merupakan kasus KKN terbanyak dengan nilai terbesar. Penelitian atas KKN yang dilakukan oleh kroni HMS menunjukkan adanya beberapa ketidakwajaran antara lain:
a. Kontrak-kontrak bisnisnya mengandung butir-butir yang sangat menguntungkan kelompok usaha milik kroni tersebut dan merugikan negara;
b. Penguasaan sumber daya alam (hutan dan lahan) yang berlebihan;
c. Peraturan perundangan yang memberikan dukungan khusus kepada kelompok usaha kroni, tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
KKN yang melibatkan kroni terjadi hampir di semua sektor, antara lain kehutanan (penguasaan lahan secara berlebihan dan penggunaan dana reboisasi di luar maksud reboisasi), perkebunan (penguasaan lahan secara berlebihan), pertambangan (kontrak pertambangan dan perdagangan komoditi tambang khususnya batu bara), minyak dan gas bumi (intermediasi dalam impor dan ekspor minyak, pengadaan barang dan jasa, proyek pembangunan), ketenagalistrikan (proyek pembangunan pembangkit listrik, pengadaan barang dan jasa, dan usaha listrik swasta), perhubungan (pengoperasian fasilitas milik PT Garuda Indonesia, keagenan, intermediasi pengadaan pesawat, dan pengelolaan telekomunikasi), pekerjaan umum (kerjasama pembangunan dan pengoperasian jalan tol), perdagangan (pengadaan dan perdagangan beras, gula, jagung, cengkeh, dan aluminium ingot), dan lain-lain (stasiun TV, pengelolaan kawasan tertentu, dll.). Penghapusan KKN yang melibatkan kroni dilakukan langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan menggunakan pedoman yang telah ditetapkan Pemerintah.

Kamis, 22 Maret 2012

"Mengurai Benang Kusut Korupsi di Indonesia"

Dalam enam bulan terakhir, “Jawa Tengah menempati peringkat ketiga provinsi paling korup di Indonesia, dibawah Jawa Barat dan Jawa Timur”. Demikian data yang dihimpun oleh Indo-nesian Corruption Watch (ICW), sebagaimana dilansir Suara Merdeka dalam laporan yang berjudul “Jateng, Provinsi Ketiga Terkorup” (SM, 7/9/04). Laporan tersebut juga menempat-kan anggota DPRD sebagai pelaku utama praktik korupsi, sementara kasus paling banyak ditemukan pada sejumlah insitusi pemerintah atau publik seperti Pemprov DKI dan BUMN, Deplu, Dephankam, Depkes, serta PLN; termasuk pula KPU. Fakta ini semakin menguatkan praduga yang berkembang di masyarakat selama ini, bahwa korupsi memang telah menjadi problem sosial yang akut, dan menjadi salah satu akar permasalahan krisis multidimensional berkepanjangan yang menimpa bangsa Indonesia.
Namun begitu, sedemikian akutnya masalah ini toh tidak menjadikan isu korupsi menjadi wacana yang leading di masyarakat. Terkecuali, isu ini mengalami eskalasi yang signifikan di tengah maraknya kampanye calon presiden dewasa ini, yang mengisyaratkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda penting untuk dientaskan. Entah bagaimana realisasinya tatkala pada gilirannya nanti tampuk kekuasaan telah ditangan. Akankah mereka tetap committed, mampu dan berani memberantas korupsi? Mengingat, persoalan yang satu ini telah berurat-mengakar dalam masyarakat kita; dan menempatkan Indonesia sebagai ‘nominator’ peringkat negara terkorup di dunia. (Lihat tabel, data 1995-2000).
Banyak sekali definisi mengenai korupsi. Salah satunya pendekatan sosiologis, dimana korupsi didefinisikan sebagai “tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau untuk perorangan, keluarga dekat, atau kelompok sendiri.” (Syafuan, 1999). Sebagai tingkah laku yang menyimpang, korupsi tentu saja tidak dapat dibenarkan. Tetapi pada kenyataannya, ‘penyimpangan’ yang satu ini banyak dipraktekkan sehingga tak berlebihan jika korupsi telah dianggap –diantaranya oleh Bung Hatta, sebagai persoalan yang membudaya sehingga disebut “budaya korupsi”. Alasannya, karena perbuatan tersebut diulang-ulang dan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Dengan begitu, tentu pantas jika korupsi disebut sebagai bagian dari kebudayaan kita.
Meski ditentang oleh para ahli kebudayaan, fakta-fakta menunjukkan bahwa perilaku korup telah menyatu dengan keseharian kita. Kita mengalami dan menyaksikan contoh-contoh yang makin meningkat –baik dari jumlah maupun kualitas modusnya. Kosakata untuk meng-komunikasikan gejala korupsi juga kian hari kian berkembang. Ada yang dikenal dengan sebutan “uang semir”, “uang pelicin”, “uang rokok”, “uang lelah”, “biaya kemitraan”, “uang kehormatan”, “uang pendamping”, dan sejenisnya. Semua istilah tersebut kini menjadi kosakata yang lazim. Kita yang mendengarnya pun tak perlu mengernyitkan dahi karena sudah sama-sama maklum, TST (tahu sama tahu); apa maksud dari kosakata tersebut. Kita pun menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar, tidak mengandung unsur penyimpangan. Padahal substansinya sama saja: korupsi!
Sebab-sebab Korupsi
Di saat transaksi ekonomi dan perputaran uang didominasi oleh negara, masyarakat dengan mudah menuding pelaku birokrasi sebagai penyebab utama korupsi. Tetapi, dewasa ini, hampir semua unsur masyarakat memberi kontribusi terhadap maraknya praktek korupsi: bisa jadi pejabat tinggi, pemimpin partai politik, eksekutif perusahaan swasta, anggota legislatif, pejabat BUMN, hingga anggota masyarakat luas –termasuk para aktivis LSM. Dengan demikian, aktor atau pelaku korupsi meluas tak hanya di kalangan pejabat pemerintah saja, tetapi telah pula menjalari seluruh lapisan masyarakat.
Disamping aktornya yang meluas, sebab terjadinya korupsi yang didasarkan pada pandangan bahwa korupsi makin marak karena gaji pegawai negeri terlalu kecil, sudah tidak valid lagi. Dalam banyak hal, korupsi sudah menjadi simbol kerakusan; bukan cara untuk mempertahankan hidup semata-mata. Hal ini terlihat dari indikasi bahwa korupsi tidak saja dilakukan oleh perorangan yang miskin dan hidup kekurangan, tetapi telah pula melibatkan banyak orang yang berpengaruh dalam suatu sistem sosial, ekonomi dan politik; dari bentuknya yang paling sederhana hingga yang paling canggih. Sehingga, korupsi, dimata Abadansky –salah seorang ilmuwan sosial, tak ubahnya sebagai suatu “kejahatan yang terorganisasi” (organized crime).
Korupsi muncul karena berbagai sebab yang saling menunjang, sehingga ia dapat tumbuh amat subur di tengah masyarakat. Menurut catatan Sudirman Said (2002), terdapat empat aspek pokok yang menyebabkan terjadinya praktek korupsi tumbuh di Indonesia. Pertama, menyangkut aspek individu pelaku korupsi; kecenderungan menunjukkan bahwa makin besar jumlah uang yang dikorup, makin banyak “orang besar” yang terlibat. Kemiskinan tidak lagi dapat selalu dikaitkan sebagai penyebab korupsi. Kasus-kasus korupsi besar yang mencuat, sangat sedikit melibatkan orang-orang yang dikategorikan miskin atau kekurangan. Pelaku korupsi, mungkin adalah orang-orang yang penghasilannya cukup tinggi, bahkan berlebih dibandingkan kebutuhan hidupnya. Selain itu, kesempatan untuk melakukan korupsi mungkin pula sudah kecil karena sistem pengendalian manajemen yang ada sudah sangat bagus. Dalam kasus ini, faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi adalah ketiadaan moral dalam diri si pelaku. Si pelaku juga mempunyai sifat tamak, rakus, hedonis dan (mungkin) tidak taat beragama.
Kedua, aspek organisasi –termasuk di dalamnya sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat sebagai suatu organisasi sosial. Korupsi biasa terjadi karena di dalam organisasi tersebut biasanya memberi peluang terjadinya korupsi. Peluang tersebut dapat muncul karena disebabkan oleh tidak adanya keteladanan dari pimpinan (pimpinan-nya korup), budaya organisasi yang tidak benar, tidak ada sistem akuntabilitas yang memadai, lemahnya sistem pengendalian manajemen, dan manajemen yang biasa menutup-nutupi kasus korupsi di dalam organisasi.
Ketiga, aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada; dimana nilai-nilai di masyarakat telah melonggar dan memberi ‘toleransi’ untuk terjadinya kasus-kasus korupsi. Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan dalam setiap praktek korupsi adalah masyarakat sendiri. Terkadang, masyarakat tanpa disadari terlibat dalam praktek korupsi, misalnya dalam pengurusan KTP, SIM, sertifikat tanah, dan berbagai urusan lainnya. Masyarakat dengan sadar membayar uang lebih (yang biasa disebut tips, uang jasa, pelicin, dan sebagainya) karena tidak mau repot mengurus. Dalam kasus pelanggaran lalu lintas misalnya, masyarakat lebih memilih “uang damai” kepada petugas kepolisian ketimbang menghadapi sidang pengadilan. Dalam contoh-contoh kasus ini, masyarakat terjebak pada pragmatisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai normatif; dan lebih suka memilih jalan pintas agar urusannya tidak bertele-tele. Masyarakat belum sepenuhnya sadar, bahwa korupsi sebenarnya akan berkurang jika mereka menolak setiap praktek yang menunjang korupsi dalam berbagai sebutan tersebut.
Keempat, aspek legal; yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada masa Orde Baru, banyak sekali peraturan perundangan yang dibuat hanya untuk meng-untungkan kerabat dan kroni Presiden Soeharto. Menurut analisis Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), dalam kurun waktu 1993-1998 saja, terdapat 79 Keputusan Presiden (Keppres) yang menyimpang, baik dari segi substansi maupun asas kepatutannya. Keppres yang menyimpang itu antara lain: pengalihan dana reboisasi kepada kroni Soeharto yang digunakan di luar upaya reboisasi, monopoli upaya perintisan mobil nasional kepada anak-anak Soeharto, dan penyalahgunaan dana-dana yang berasal dari yayasan-yayasan keluarga Soeharto. Dewasa ini, kita juga menyaksikan “drama baru” praktik korupsi yang bersumber dari peraturan yang legal, sebagaimana terjadinya korupsi massal oleh Pimpinan dan Anggota DPRD Propinsi Sumatera Barat, Kota Bukittinggi, dan Kabupaten Payakumbuh. Tak menutup kemungkinan, kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah lainnya, terkait dengan proses desentralisasi (otonomi daerah) yang tengah mengemuka belakangan ini.
Dalam kasus ‘korupsi legal’ ini, biasanya pembuatan peraturan undang-undang tidak melibatkan unsur masyarakat. Masyarakat diposisikan sebagai obyek hukum, sementara substansi hukum itu sendiri dinilai pandang bulu dan menjadi penyebab utama merajalelanya praktek korupsi.
Daya Rusak Korupsi
Secara umum, korupsi menyebabkan mutu pelayanan publik berkurang dan menjadi sangat bervariasi sesuai dengan uang suap yang diberikan. Pengurusan SIM dan KTP yang telah ditentukan prosedur, tarif dan jangka waktunya bisa diakali dengan memberi ongkos tambahan petugas. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum jika dalam pengurusan kedua urusan tersebut –dan juga jasa pelayanan publik lainnya, menjadi tempat para mafia dan calo mencari nafkah. Mereka bekerjasama dengan “orang dalam” yang turut andil mengabaikan prosedur baku yang telah ditentukan. Tentu saja hal ini merugikan, misalnya untuk sebagian orang yang lebih dulu mendaftar tetapi tidak punya uang lebih untuk menyogok petugas. Mereka yang berkantong tipis biasanya kurang dipedulikan oleh petugas.
Dalam lingkungan yang koruptif, ekonomi dan bisnis dijalankan tidak berdasarkan pada biaya yang nyata. Banyak sekali unsur biaya yang sulit dipertanggungjawabkan yang disebut “biaya siluman”. Akibatnya, percuma saja digembar-gemborkan murah-nya tenaga kerja Indonesia sementara faktor biaya lain tidak bisa dikendalikan. Pada gilirannya, ekonomi biaya tinggi ini membuat produk Indonesia tidak kompetitif baik di pasar domestik maupun internasional. Korupsi juga akan membawa efek lanjutan berupa menurunnya investasi dan pertumbuhan ekonomi karena kebijakan yang tidak selayaknya (unsound economic policy) telah menguntungkan sekelompok orang dan menafikan kepentingan orang banyak.
Tidak saja di bidang ekonomi, korupsi juga memiliki daya rusak yang dahsyat ter-hadap kepemimpinan lokal. Seleksi dan penentuan jabatan publik yang sarat dengan politik uang akan mengabaikan kriteria integritas dan kompetensi, dan pada ujungnya akan mengarah pada praktek korupsi baru di pemerintahan lokal.
Selain itu, dampak yang tak kalah dahsyat, adalah hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga yudikatif. Lembaga yudikatif, sebagai benteng terakhir keadilan telah dirasuki mafia; dimulai dari polisi yang menyelidiki laporan atau pengaduan perkara, lalu jaksa yang menyidik, sampai pada hakim yang memeriksa dan menentukan vonis. Di lain pihak, para pengacara yang kerap bersuara vokal membela hak-hak kliennya pun “main mata” untuk memenangkan perkara. Semua ini terjadi karena praktek korupsi, telah pula merambah pada lembaga yang mestinya bermoral, bermartabat dan terhormat tersebut.
Mengedepankan “Budaya Malu”
Sedemikian besar daya rusak korupsi, mestinya korupsi dijadikan musuh nomor satu masyarakat. Perlu disosialisasikan nilai baru kepada masyarakat bahwa korupsi adalah tindakan yang beresiko tinggi dan bermartabat rendah. Dengan demikian, masyarakat dapat menghitung resiko sosial dan mengembangkan “budaya malu”untuk terlibat dan melakukan tindakan korupsi.
Mengenai “budaya malu” ini, kita bisa belajar dari Korea Selatan. Di negeri ginseng itu, budaya malu sangat dijunjung tinggi. Adalah Ahn Sang Young –Walikota Pusan, Korea Selatan; lebih memilih mati daripada hidup menanggung malu. Ditangkap pada Oktober 2003 lalu dengan tuduhan menerima suap sebesar 80 ribu US dolar dari sebuah perusahaan konstruksi, Ahn mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di tahanan setelah diputuskan bersalah oleh Pengadilan. Ketika menunggu vonis tuduhan tersebut, muncul lagi dakwaan baru menerima suap 250 ribu US dolar dari pengusaha lainnya. Ahn Sang Young yang berusia 64 tahun, menjadi Walikota Pusan untuk masa jabatan kedua kalinya.
Kita tidak tahu, kapan pengadilan kita berani menjatuhan vonis terhadap para pejabat aktif yang terbukti melakukan korupsi, menerima suap, dan sebagainya. Kita sama-sama tahu, sisi gelap kasus-kasus korupsi di negeri ini yang tak terjamah oleh hukum. Bukan saja karena korupsi melibatkan orang-orang “besar” dan berpengaruh, tetapi juga karena lilitannya yang jalin-berkelindan menjerat semua orang. Tak heran, angka-angka korupsi di Indonesia sedemikian fantastis. Data temuan ICW yang menempatkan Jawa Tengah sebagai provinsi terkorup ketiga, serta praktik korupsi yang melibatkan sejumlah instansi pemerintah, BUMN, anggota legislatif, dan sebagainya seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan, adalah sisi kecil dari sejarah panjang budaya korupsi di negeri kita. Sisi besarnya, secara akumulatif, Indonesia menjadi negara terkorup di dunia. Masih tidak malu?!? ***
keyword: paper tentang kasus korupsi bumn, contoh pidato masalah korupsi, makalah kasus korupsi di indonesia, makalah korupsi, fakta korupsi di indonesia 2011, makalah korupsi dan keadilan, makalah kasus korupsi organisasi akibat salah sistem kepemimpinan, sosiologi korupsi indonesia, contoh makalah permasalahan di indonesia, makalah korupsi di indonesia, makalah analisa kasus masalah ekonomi di indonesia, makalah permasalahan keadilan di indonesia, makalah permasalahan korupsi, makalah perbuatah pelanggaran hak korupsi hakim banyak terjadi di indonesia ppt, makalah masalah utama perekonomian, makalah masalah integritas dan perilaku korupsi, makalah perilaku menyimpang korupsi, makalah korupsi yang terjadi indonesia, makalah korupsi di kalangan pejabat, makalah korupsi yang sedang terjadi di indonesia, makalah korupsi dikalangan pejabat, makalah korupsi di negara berkembang, makalah korupsi di lingkungan instansi pemerintah, makalah korupsi di kalangan pemerintahan, tugas makalah masalah dpr, makalah korupsi dalam politik, MAKALAH PERMASALAHAN LEGISLATIF, masalah ekonomi di indonesia, masalah korupsi, menganalisis kasus kemiskinan di indonesia

"Sulitnya Memiskinkan Koruptor"

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tengah menyelidiki kemungkinan Gayus H. Tambunan, terdakwa suap pajak, telah melarikan harta kekayaannya ke luar negeri. Dugaan ini mencuat setelah publik kembali dihebohkan oleh kepergian Gayus ke Makau, Singapura, Kuala Lumpur, dan Hong Kong selama ia menjadi tahanan di Rutan Markas Komando Brimob Depok, setelah ia juga kedapatan “berlibur” ke Nusa Dua, Bali, untuk tujuan yang hingga kini belum bisa diketahui. Upaya melarikan harta kekayaan yang diduga dari tindak kejahatan (korupsi) merupakan sebuah praktek berulang-ulang dan telah menjadi masalah klasik di Indonesia. Dalam kasus korupsi BLBI, sebagai contoh, sudah ratusan miliar hingga triliunan rupiah uang negara telah dibawa oleh pelakunya ke berbagai negara di luar negeri, meskipun yang paling dijadikan target adalah Singapura. Tak mengherankan jika Singapura dikenal sebagai negara yang menyimpan paradoks.
Di satu sisi, Singapura oleh Transparency International selalu dinobatkan sebagai negara bersih di tingkat Asia, tapi di sisi lain menjadi tempat penampungan harta haram dari tindak kejahatan, khususnya yang berasal dari Indonesia. Bahkan ada dugaan jika harta korupsi yang ditanamkan di Singapura telah menjadi sumber investasi yang strategis. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Singapura tidak bisa dilepaskan dari praktek pencucian uang koruptor Indonesia di negara tersebut.
Kemungkinan besar Gayus juga menyimpan harta yang diperolehnya dari praktek suap-menyuap dengan wajib pajak ke negara lain mengingat, dalam proses penegakan hukum kasus Gayus, Markas Besar Kepolisian RI sangat lamban dalam melakukan upaya asset tracing. Terlebih ada fakta hukum bahwa lolosnya Gayus ke luar negeri tidak bisa dilepaskan dari bantuan orang dalam di kepolisian, yang notabene seharusnya mengawasi dengan ketat tahanan seperti Gayus.
Sikap tidak profesional aparat penegak hukum dalam mengantisipasi kemungkinan tersangka atau terdakwa korupsi melarikan harta kekayaannya telah mengesankan adanya praktek pembiaran yang luar biasa, bukan sekadar kelengahan. Definisi pembiaran berarti secara sadar sengaja memberikan kesempatan bagi pelaku atau pihak yang diduga kuat melakukan kejahatan untuk menyiasati proses hukum yang tengah berjalan atas dia, sehingga dia mendapatkan kesempatan untuk memanipulasi, menghilangkan, melenyapkan, dan membawa lari barang bukti yang penting.
Pelacakan aset
Upaya asset tracing dalam kejahatan finansial seperti korupsi menjadi sesuatu yang sangat vital bagi terpenuhinya tujuan penegakan hukum, yakni asset recovery. Jika penegak hukum hanya bisa menyeret pelaku ke persidangan dan menjebloskannya ke penjara tanpa bisa mendapatkan kembali harta dari tindak kejahatan korupsi, sesungguhnya aparat penegak hukum tidak bisa dikatakan berhasil dalam melakukan pemberantasan korupsi. Masalahnya, dalam konteks penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia, fokus pada pemenjaraan lebih diprioritaskan daripada usaha untuk mengamankan dengan cepat harta korupsi. Tak aneh jika akuntabilitas dan transparansi aparat penegak hukum dalam pengelolaan serta pengembalian harta kejahatan korupsi bisa dikatakan sangat rendah.
Ada satu risiko besar jika isu mengenai pengembalian dan penyelamatan harta negara yang dikorupsi tidak menjadi perhatian serius, yakni terulangnya kembali praktek kejahatan serupa serta berkembangnya praktek pencucian uang. Dengan harta yang masih dikuasainya, pelaku korupsi yang tengah dipenjara dapat menyuap aparat penegak hukum, membayar joki tahanan sebagaimana yang kita lihat di Jawa Timur, memelihara jaringan kejahatan yang ia miliki, serta memperkuat mesin kejahatan itu sendiri.
Demikian halnya, uang yang disembunyikan dapat diolah sedemikian rupa dengan teknik rekayasa keuangan canggih yang kemudian melahirkan “dana bersih” untuk kepentingan yang legal maupun yang ilegal. Pendek kata, lemahnya negara (baca: penegak hukum) dalam melakukan upaya asset tracing dan asset recovery akan membuka peluang bagi reproduksi kejahatan yang terus membangun jejaringnya.
Kelemahan paradigma
Di luar integritas penegak hukum yang buruk, faktor penghambat bagi gagalnya upaya asset recovery hasil kejahatan korupsi adalah lemahnya paradigma undang-undang pemberantasan korupsi yang kita anut. Dalam perspektif Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan kerugian negara adalah jumlah kerugian yang dialami negara dari tindak pidana korupsi sesuai dengan nilai an sich korupsi yang dilakukannya. Sederhananya, jika koruptor telah mencuri uang senilai Rp 5 miliar dari kas negara, nilai kerugian negaranya adalah Rp 5 miliar.
Paradigma di atas mengandung kelemahan yang mendasar karena pada prinsipnya kerugian dari sebuah kejahatan tidak hanya sebatas sesuatu yang material sifatnya. Belum lagi jika kita memperhitungkan waktu dan nilai aktual dari sebuah praktek korupsi yang telah terungkap. Maksudnya, jika korupsi terjadi pada 2007 sebesar Rp 5 miliar sementara penegak hukum baru mengungkapnya pada 2010, secara riil nilai kerugian itu sudah berubah karena nilai Rp 5 miliar pada 2007 akan berbeda dengan nilai Rp 5 miliar pada 2010.
Masalah lain yang terkandung dalam UU Tipikor: pengembalian nilai kerugian negara hanya bisa dilakukan untuk kasus-kasus korupsi yang dijerat dengan pasal 2 dan 3. Sementara itu, untuk praktek korupsi lainnya, seperti suap-menyuap, yang bisa disita buat negara hanyalah nilai suap yang bisa diungkap serta uang denda yang jumlahnya sudah diatur secara pasti. Jika dalam sebuah kasus suap-menyuap yang dijadikan target adalah penguasaan secara melanggar hukum hutan milik negara beserta isinya, sesungguhnya nilai kerugian negara tetap ada.
Demikian pula jika kita contohkan pada kasus suap-menyuap untuk mengurangi nilai pajak sebagaimana dalam kasus Gayus, nilai kerugian negara dari kejahatan suap-menyuap itu bisa dibilang sangat besar. Kalkulasinya, suap senilai Rp 20 miliar tentunya untuk menyelamatkan hal lain yang jauh lebih besar, karena nilai suap sangat tidak mungkin setara dengan nilai keuntungan yang diperoleh dari sisi pemberi suap.
Pada intinya, usaha menyelamatkan dan mengembalikan harta tindak kejahatan korupsi bukan sekadar dimaksudkan untuk mendapatkan kembali kekayaan negara yang telah diambil oleh pelaku, tapi juga ditujukan buat melumpuhkan organisasi kejahatan korupsi yang telah terbangun. Hal ini karena organisasi kejahatan korupsi bisa terus terpelihara jika hanya ada sumber finansial besar yang menyokong kehidupannya.
Aanalisi nya:
Karena itu, sudah waktunya pemerintah Indonesia serius mengadopsi dan menjalankan prinsip konvensi UNCAC 2003, yang telah diratifikasi pada 2006. Dengan bantuan komunitas internasional, upaya untuk memperkuat legal framework dalam pemberantasan korupsi, khususnya pada aspek penyelamatan kekayaan negara, lebih dapat dioptimalkan. Kita tentu tidak ingin melihat lagi tersangka atau terdakwa korupsi masih bisa mengikuti pemilihan kepala daerah dan menang karena sumber keuangannya tidak pernah disentuh oleh otoritas penegak hukum.

"EKONOMI POLITIK INDUSTRI VIDEO GAME"

Sebagai seorang gamer, tidak pernah sekalipun saya terpikir bahwa video games yang pada hakekatnya hanya merupakan entertainment tools ternyata memiliki kemampuan yang jauh melebihi esensi awal tujuan dibuatnya video game tersebut. Video game menjadi sebuah bagian penting dari studi komunikasi / komunikasi itu sendiri. Sebagai media interaktif video games dianggap sebagi sebuah media komunikasi yang representative terlebih lagi karena dimungkinkannya komunikasi interpersonal dan missal dengan adanya tekonologi computer mediated communications (CMC)[1]. Di dalam tulisan ini saya ingin mencoba untuk mengungkap fenomena ekonomi politik yang menjadi salah satu aspek industrialisasi dan praktik video game dari segi produksi distribusi dan konsumsinya.
Kalau kita ingin melihat bagaimana video game bisa menjadi sebuah industri yang sangat kuat mungkin kita harus melihat kembali ke era tahun 70-an disaat video game untuk pertama kalinya diproduksi secara massal (komersialisasi) sebagai arcade. Pada tahun-tahun berikutnya industri video game berkembang sangat pesat, dimulai dominasi console Nintendo di era 80-an diikuti Sega di era 90-an diteruskan perebutan pasar yang pesat oleh Sony, Microsoft dan Nintendo yang dimulai awal tahun 2000. Saat ini perkembangan video game sangat pesat dan menurut majalah The Weekend Australian Magazine (2004) diestimasi bahwa peredaran uang yang terkait dengan industri video game berkisar antara 28 milyar USD, dan berkembang 20% setiap tahunnya[2].
Sebelum lebih jauh melangkah pada aspek ekonomi politik industri video game, saya akan mencoba menerangkan aktor-aktor dalam industri video game dengan menggunakan logika industri media. Developer dapat dibilang sebagai aktor utama dari industri ini, merekalah yang paling berkepentingan dan merupakan “komunikator” utama. Selanjutnya terdapat apa yang dinamakan publisher sebagai sebuah agen penyebaran dan distribusi video game, namun banyak dari developer video game yang juga kemudian merangkap sebagai publisher. Terakhir adalah konsumen yang dalam konteks ini merupakan “komunikan”. Dalam sebuah perusahaan video game terdapat beberapa standar inti posisi di perusahaan diantaranya adalah: programer, desainer, produser, artistik, dan tester.
Perkembangan industri video game yang sedemikian rupa pesat seharusnya sudah diikuti dengan dibentuknya regulasi oleh negara (state) untuk mengatur dan mentertibkannya di level publik. Namun sampai saat ini regulasi tersebut biasanya hanya sebatas pembagian kategori saja. Manakala video game menjadi konsumsi publik di Amerika selayaknya film maka di buatlah sistim rating, rating disini adalah rating umur dan kategori akses individu. Hal inilah yang pada level distribusi dengan sadar diri ikut berpartisipasi melakukan kontrol konsumsi sebagai langkah kepada control sosial masyarakat.
Aspek utama yang merupakan sebuah profit bagi industri game adalah software dari game itu sendiri. Terlepas dari hal tersebut memang ada beberapa perusahaan video game yang juga berkembang dari penjualan console-nya, namun hal tersebut sudah sangat berkurang saat ini. Akan tetapi sejak di komersialisasikannya internet maka online gaming merupakan sebuah fenomena baru dalam industri video game. Seorang gamer tidak lagi hanya dibebani oleh biaya produksi software game namun harus berlangganan bulanan sehingga profit yang berkelanjutan dapat diperoleh dari sistim pelayanan jasa hiburan.
Mosco menerangkan bahwa dalam ekonomi politik komunikasi (bisnis media) harus tetap melihat kepada perkembangan bisnis tersebut dan kemajuannya (profit) untuk membuka peluang lebih jauh. Peluang tersebut adalah produksi massal yang nantinya kan menjadi konsumsi massal dan (mungkin) akan dipahami sebagai sebuah budaya massal. Pada dasarnya bisnis media serupa dengan bisnis konvensional lainnya, hanya saja dalam media, pesan dan informasi merupakan sebuah kekuatan absolut, dan informasi bisa di komodifikasikan menjadi sebuah “barang” dagangan tersendiri terlepas konteks “harafiah” akan sebutan barang dagangan adalah benda fisik. Saya akan mencoba “meminjam” teori-teori ekonomi politik komunikasi milik Vincent Mosco dan mengadaptasikannya pada beberapa kasus dalam industri video game.
The Industry Spatialization
Seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa industri game berkembang sangat pesat. Industri video game mengalami metamorfosis dan berevolusi menjadi sebuah industri yang blended, kalau saya pinjam istilah media adalah ibarat “media mix”. Industri game saat ini tidak semuanya mbergantung pada divisi yang terpisah. Pada beberapa console misalnya beberapa produsen membuat console sekaligus content game dan menditribusikannya menjadi satu paket, hal ini bisa kita lihat dalam kasusnya Microsoft Xbox 360 dengan game Gears of War atau Crimson Skies. Sega di era 90an juga merupakan contoh yang signifikan. Akan tetapi saat ini tidak banyak perusahaan video game yang yang bersaing sekaligus menjual console / platform-nya kebanyakan developer game hanya sebagai perusahaan 3rd party dimana merka hanya menyediakan software game saja. Inilah yang mendasari saya menyebutkan bahwa developer video game merupakan sebuah agen yang “konvergensi”.
Ada sebuah perusahaan content developer video game yang menarik, mungkin bisa disebut sebagai representasi kapitalisme dalam industri video game. Electronic Arts yang didirikan di California USA tahun 1982 merupakan sebuah contoh yang sempurna sebagai representasi kapitalisme industri video game. Sebagai sebuah kekuatan kapitalisme, EA telah mengakuisisi banyak dari perusahaan pesaingnya berapa diantaranya Ubisoft, Take Two Interactive dan Westwood Std. Dengan memperkerjakan sekitar 5000+ karyawan pada 15+ studio tersebar diseluruh dunia dan memproduksi rata-rata 60 judul game pertahunnya, dapat saya katakan bahwa saat ini Electronic Arts merupakan perusahaan video game terbesar di dunia.
Sebagai sebuah industri komunikasi, EA melakukan apa yang disebutkan oleh Mosco (1996) sebagai spasialisasi industri.
“The political economy of communication has specifically addressed spatialization chiefly in terms of the institutional extension of corporate power in the communication industry. This is manifested in the sheer growth in the size of media firms, measured by assets, revenues, profit, employees, and share value. Political economy has specifically examined growth by taking up different forms of corporate concentration”.[3]
Dengan banyak mengakuisisi developer pesaingnya, EA melakukan ekspansi riset dan pasar secara global. Diatas telah disebutkan bahwa EA mempunyai sekitar 15+ anak perusahaan (bila memang bias disebut begitu), yang banyak diambil dari perusahaan pesaingnya dan merubahnya menjadi sebuah studio pendukung produksi. Sebagai sebuah multi-perusahaan yang bergerak di bidang video game EA tidak lantas menggunakan semua perusahaan (anak perusahaan) hasil akuisisi globalnya dengan nama Electronic Arts, namun ada beberapa yang tetap dipertahankan menggunakan nama aslinya hal ini (dugaan saya) berkaitan dengan “fanboy” atau brand image dari perusahaan terdahulunya. Kasus ini dapat dilihat pada Grand Theft Auto III & IV keluaran Rockstar Games dan game-game lain keluaran Ubisoft (serial Prince of Persia)[4].
Sebuah kasus menarik terjadi di Canada (negara penghasil video game urutan ke 6) dimana dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Nick Dyer-Witheford, dalam “The Canadian Video and Computer Game Industry,” (2005) menyebutkan bahwa industri video game lokal susah untuk dapat berkembang dan kurang diuntungkan dengan kehadiran developer game multinasional. Kehadiran EA (Montreal) dan Ubisoft (anak perusahaan EA, Vancouver) mematikan kreativitas developer lokal dan bahkan mengakuisisi developer lokal. Hal ini membuat developer kecil susah untuk bersaing, dimana kekuatan kualitas, distribusi, pasar dan terutama modal berbeda sangat jauh. Tidak bias dipungkiri bahawa eberapa seri judul game yang popular di dunia dihasilkan di Canada, akan tetapi bukan dari perusahaan lokalnya. Hal ini dapat kita lihat pada FIFA Soccer Series yang dihasilkan di EA Canada, Vancouver.
Manuver lain yang dilakukan EA dalam memperluas perusahaan adalah dengan melakukan sinkoronisasi multi-platform. Maksudnya pada awalnya EA hanya memproduksi game untuk PC saja namun EA telah memperluas lisensinya kepada platform console dan bahkan saat ini sudah masuk ke dunia mobilephone. Hal ini pada akhirnya menjadi sebuah multi industri (content) yang mempunyai potensi profit besar.
Sebagai sebuah perusahaan (content) video game, EA dapat dibilang tidak hanya memproduksi video game secara harafiah, akan tetapi juga memproduksi isi pesan (content), namun EA juga berperan sebagai sebuah publisher bagi dirinya sendiri atau developer kecil. EA memproduksi content game sekaligus juga mendistribusikannya, mempromosikannya dan berusaha menjamin konsumsinya. Distribusi video game EA dilakukan di beberapa negara dan sebagian besar ada di Eropa dan Amerika, berikutnya di Asia, dan Australia melalui representatif regional.
Bagian pertama ini menunjukkan bahwa teori Mosco tentang bagaimana sebuah industri komunikasi dibentuk dan diperluas untuk membentuk sebuah sistem ekonomi politik yang baru, Dengan luasnya jaringan korporatokrasi media maka akan menciptakan sebuah atmosfir massal. Praktek industrialisasi video game Iyang dipraktikan oleh Electronic Arts adalah gambaran sempurna dari sebuah proses spasialisasi industri. Ada beberapa Industri video game video game yang juga mempraktikan spasialisasi, misalnya Activision akan tetapi tidak sebesar dan sekuat korporasidan dominasi EA. Saya akan mencoba menerangkan bagaimana komodifikasi pesan dan praktik dalam video game pada bagian berikutnya.
Komodifikasi: pesan, kekerasan, dan wanita
Secara sederhana Mosco (1996) telah memberikan pengertian mengenai apa itu komodifikasi:
“Tthe process of transforming use values into exchange values, of transforming products whose value is determined by their ability to meet individual and social needs into products whose value is set by what they can bring in the marketplace”.[5]
Dapat diambil intinya bahwa komodifikasi adalah bagaimana merubah nilai guna menjadi nilai tukar. Hal ini membawa pengertian bagaimana (dalam media) content informasi dan pesan dapat dirubah menjadi sebuah “nilai jual” secara kita sadari ataupun tidak. Industri video game sebagai sebuah industri budaya dan media juga memperhatikan bagaimana perkembangan produksinya sebagai sebuah bagian dari pengembangan ekspansi menuju kepada ekonomi politik yang lebih luas. Dalam industri video game juga mengalami fenomena yang sedikit banyak mirip dengan apa yang terjadi pada industri media konvensional. Komodifikasi content game sudah menjadi hal yang sangat wajar (bila kita sedikit berpikiran kritis untuk melihatnya). Dalam bagian ini saya akan mencoba mengungkap beberapa jenis komodifikasi yang kiranya cukup signifikan dalam industri video game, fenomena tersebut akan diuraikan dan dicontohkan.
Kasus yang ingin saya angkat pertama adalah bagaimana isu global dikomodifikasi menjadi sebuah pesan, Dalam topic ini masih menggunakan EA sebagai sebuah perusahaan game terbesar di dunia. Produksi game EA terhadap isu-isu yang sedang “hangat” pada dasarnya menarik untuk disimak. Saya memperhatikan banyak sekali judul game yang dirilis EA seakan dengan sebuah “kepentingan”. Dugaan saya, misalnya kita bisa melihat bagaimana seri Medal of Honor dan Command and Conquers yang dirilis sesuai dengan sosialisasi patriotism Amerika.
Dalam penelitian saya (Ardian, 2007) Politik dalam Video Game, saya menemukan adanya komodifikasi dalam memproduksi pesan, EA (Westwood Std.) dalam game Command and Conquer Generals (2003)[6]. Pesan teks berupa gambar & narasi dalam game tersebut memiliti tendensi nilai jual terhadap isu terorisme Islam yang ada di Timur Tengah. Penelitian tersebut sedikit banyak memberikan pengertian yang komprehensif melalui semiotik pemaknaan tanda-tanda terorisme Islam sebagai sebuah komoditas yang “seksi” untuk dijual. Game tersebut dirilis disaat Amerika melakukan serangan besar-besaran menuju Afghanistan dan Irak di tahun 2003.
Komodifikasi nilai berita mengenai invasi Amerika Serikat menuju Timur Tengah yang dapat dilihat lagi adalah dalam game “Call of Duty 4, Modern Warfare” (Activision, 2005). Mengambil setting di perkotaan ala Baghdad, disini terlihat jelas bagaimana isu mengenai senjata biologis pemusnah massal di Timur Tengah menjadi sebuah topik utama cerita game tersebut. Game ini pun dirilis disaat Amerika masih menguasai Irak. Kedua game ini memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana pesan dan informasi serta isu global sebagai sebuah teks di rubah menjadi sebuah kemasan manis patriotism Amerika Serikat dalam sebuah “permainan”. Berikutnya saya akan mencoba membawa tulisan ini pada kasus komodifikasi yang lebih menarik lagi. Komodifikasi budaya kaum urban kulit hitam di Amerika Serikat sebagai sebuah budaya kekerasan.
Batasan saya dalam tulisan ini hanyalah memberikan sebuah gambaran bagaimana kekerasan menjadi sebuah komuditas penting dalam industri video game. Penggunaan kaum urban kulit hitam dan budaya kekerasan juga hip hop-nya menjadi sebuah komoditas yang cukup signifikan untuk merepresentasikan kekerasan dalam video game yang saya maksudkan. Seperti dalam industri film, kekerasan kaum urban Amerika merupakan sebuah fenomena yang cukup “sexy bila dimasukkan ke dalam sebuah ide cerita, contohnya film Training Day, Get Rich or Die Trying, dan sebagainya.
Industri game-pun mengalami fenomena yang serupa, banyak judul game justru menitik beratkannya pada aksi brutalisme (blood and gore) sebagai esensi permainannya. Sebuah game, “Grand Theft Auto: San Andreas” (GTA: SA) merupakan salah satu game terlaris yang pernah ada (Xbox, PC ver.) dan merupakan penjualan game terlaris yang tercepat di UK. GTA SA bercerita tentang seorang anak muda yang mempunyai impian menjadi seorang gangster yang menguasai seluruh kota San Andreas. Dalam GTA: SA kita dituntut untuk membunuh dan menganiaya kelompok gangster lainnya dalam upaya mendapatkan pride, dignity dan power. Sesuatu yang nampaknya sederhana namun menurut saya merupakan hal yang tidak sepele. Rockstar Game mengkomodifikasi sebuah budaya kaum urban kulit hitam Amerika yang penuh kekerasan, hidup yang susah dan ketidak mapanan menjadi sebuah cerita dan kisah yang sangat menjual. Hal ini lebih ditekankan lagi pada dengan aksi-aksi kekerasan dalam GTA: SA yang menurut saya “overrated violence”.
Sejak pertama kali video game diperkenalkan, sudah ratusan judul yang mempunyai esensi kekerasan Banyak sekali genre game yang menitik beratkan pada kekerasan mulai dari soft violence (Street Fighter) sampai pada yang hard violence (GTA: SA, Manhunt). Game dengan genre fighting, first person shooter, dan action pada umumnya mengkomodifikasi kekerasan sebagai nilai jual yang signifikan.
Bergeser dari kekerasan sebagai “komoditas jual”, saya mencoba mengungkapkan secara singkat bagaimana perempuan juga dijadikan sebuah komoditas pada beberapa game dan bahkan menjadi ikonik. Ada sebuah contoh signifikan dan unik tentang perempuan (heroine) yang merupakan komodifikasi perempuan dalam industri video game yaitu Tomb Raider’s Lara Croft. Sebagai sebuah ikon, sebenarnya Lara Croft sendiri tidak hanya berlaku sebagaimana perempuan dikomodifikasi namun juga menjadi komoditas yang dapat menspasialisasikan dirinya sebagai sebuah “perusahaan” yang menyampaikan “pesan” dalam berbagai versi dari game, film dan merchandise. Helen W. Kennedy dalam tulisannya (analisis text) “Lara Croft: Feminist Icon or Cyberbimbo?” menuturkan bagaimana ikon Lara Croft dibentuk, bagaimana para gamer pria. Lebih jauh ia mengatakan bahwa Lara Croft adalah sebuah bagian dari “ekonomi politik” yang dilancarkan Sony Corporation dalam merilis console terbaru mereka saat itu Sony Playstation.
It is clear that the producers of Lara wanted to market her as a character potentially appealing to women; her arrival on the game scene dovetailed nicely with the 90′s “girlpower” zeitgeist and could potentially have hit a positive chord with the emergent “laddette” culture which very much centred around playing “lads” at their own game(s). In Killing Monsters Gerard Jones locates Lara amongst a number of feisty and highly sexualized female characters that rose to prominence in the 90s – including Buffy the Vampire Slayer (2002)”.[7]
Kutipan diatas sedikit banyak memperlihatkan bagaimana seorang perempuan dikomodifikasikan sedemikian rupa (menjadi Lara) yang mempunyai selling value yang tinggi. Dalam mendongkrak popularitas ada banyak game yang menggunakan perempuan sebagai daya tarik fundamental. Perempuan diasumsikan memiliki daya tarik sensualitas / seksualitas, dan memang untuk itulah mereka dihadirkan. Nina dan Anna dalam serial Tekken atau Hitomi dalam Dead or Alive merupakan contoh bahwa sebuah game genre fighting juga membutuhkan kehadiran ikon perempuan dalam konteks “sensualitas”. The game will not be the same without them.
Sedikit bergerak keluar dari komodifikasi pada level “representasi”, content game sendiri merupakan komodifikasi dan reproduksi ulang dari sesuatu yang sebelumnya sudah pernah dibuat. Bisa kita lihat yang paling sederhana adalah dalam game yang ber-genre soccer sports misalnya Winning Eleven, FIFA Soccer, Championship Manager Series, dan sejenisnya. Kalau dicermati, yang dijual oleh developer terkait adalah update rooster pemain setiap tahunnya dan secara grafis, gameplay ataupun content pada dasarnya tidak mengalami peubahan signifikan. Developer game genre ini seakan mengkomodifikasi perubahan rooster pemain dunia pertahunnya menjadi suatu nilai jual yang direproduksi lagi dan lagi.

"PANCASILA SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN NASIONAL"

Dewasa ini pembangunan di Indonesia mengalami dekadensi (kemerosotan) yang amat drastis dari berbagai aspek. Hal ini dibuktikan dengan kasus-kasus yang banyak terjadi di Indonesia antara lain korupsi, yang merupakan salah satu contoh kemerosotan pada aspek humanisasi; melemahnya kurs rupiah terhadap mata uang dollar pada aspek emansipasi; dan kemiskinan yang tidak teratasi. Kemerosotan ini disebabkan oleh kemunduran sumber daya manusia di berbagai aspek, baik sektor pendidikan, ekonomi, sosial budaya, dan politik. Sumber daya manusia di Indonesia seperti kehilangan jati diri mereka.

Dibalik kemorosotan dan kemiskinan sikap yang dihadapi, sebenarnya Indonesia memiliki sebuah harta yang merupakan sebuah kunci emas sebagai pengontrol dan senjata ampuh bagi bangsa Indonesia dalam perang besar menghadapi perkembangan dan perubahan zaman yang tidak dapat dihentikan. Seiring berjalannya waktu, ilmu pengetahuan akan semakin maju, manusia akan berangsur-angsur berubah, baik dalam sikap dan gaya hidup. Saat sebuah bangsa tidak sanggup menghadapi arus raksasa yang mematikan itu, maka sebuah bangsa akan hancur. Mereka akan termakan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kepercayaan mereka akan musnah dan hanya akan menjadi sejarah atau mungkin tidak lagi dikenali. Dalam hal ini, Pancasila merupakan sebuah tameng sekaligus pedang emas milik bangsa Indonesia, sehingga bangsa Indonesia dapat bertahan dari serangan arus perkembangan zaman tersebut.

Ketangguhan Pancasila tidak diragukan lagi. Pancasila bahkan bukan sebuah pedang bermata dua yang dapat menghancurkan Indonesia. Hanya saja, saat bangsa Indonesia sebagai pemilik dari Pancasila itu sendiri mulai melupakan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi mereka, maka pengaruh dan peran Pancasila yang dahsyat itu tidak akan dapat melindungi bangsa ini lagi.

Pancasila sebagai ideologi terbuka Indonesia sudah ada sejak 1 Juni 1945. Proses perumusan Pancasila melalui beberapa tahap dan pertimbangan. Tokoh-tokoh pemuka Indonesia seperti Ir. Sukarno, Muh. Yamin, dan Supomo telah sama-sama menuangkan buah pikirannya dalam merumuskan dasar negara. Tidak hanya dalam proses pembuatannya, mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara tidak semudah membalikkan telapak tangan. Indonesia mengalami rintangan yang berat, seperti insiden G/30-S/PKI yang memakan banyak korban jiwa. Karena dirumuskan oleh tokoh indonesia, Pancasila secara alami lahir dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai yang terkandung dalam tiap butir sila Pancasila merupakan cerminan jati diri bangsa yang sudah melekat pada tiap sanubari warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, seiring berjalannya waktu, Pancasila belum dapat diterapkan secara maksimal. Hal ini tampak dari kemerosotan yang terjadi di Indonesia. Jika dikaji lebih lanjut, Pancasila dapat membawa negara indonesia menjadi negara yang jauh lebih maju dari kondisinya sekarang.

Pancasila memiliki lima buah sila yang memiliki arti khusus dan mendalam sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sila pertama yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila ini mengemukakan tentang hubungan manusia, terutama bangsa Indonesia dengan Tuhan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Wilayah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke dihuni oleh berbagai suku dan agama. Agama sendiri merupakan sebuah kepercayaan masing-masing individu yang tentu saja tidak dapat dipengaruhi secara langsung oleh faktor-faktor dari luar. Saat seseorang telah mengakui sebuah agama sebagai sesuatu yang ia percaya serta sebagai tuntunan dan pedoman hidup baginya, maka faktor luar yang ingin mempengaruhi individu tersebut dari segi agama malah akan dianggap sebagai sebuah faktor negatif. Sesuatu yang kurang sejalan bertemu, maka akan terjadi konflik. Saat kedua belah pihak tidak ada yang mengalah dan tidak memiliki sikap saling menghormati dan bertoleransi, maka konflik itu akan menjadi besar dan menimbulkan sebuah perpecahan. Untuk menghindari terjadinya keretakan dalam persatuan dan kesatuan bangsa, Pancasila memiliki andil besar. Pancasila mengakui adanya pluralisme bangsa Indonesia tidak terkecuali agamanya. Pluralisme ini sendiri merupakan sesuatu yang sudah ada dalam diri bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Pada sila pertama inilah, hal yang kita kenal dengan toleransi dan saling menghormati diajarkan kepada kita. Pemerintah juga telah menjamin keamanan dan hak-hak warga negaranya untuk memeluk agama tertentu dan menjalankan agamanya itu dengan baik dan benar sambil menghormati agama lain.

Sila kedua Pancasila yang berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan cerminan dari bangsa Indonesia yang mengakui hak-hak asasi manusia yang melekat dalam setiap diri individu. Bangsa Indonesia terkenal dengan adat gotong royong merupakan salah satu nilai praksis dari sila kedua ini. Semua manusia sama dan perbedaan bukanlah sebuah masalah besar yang dapat menghancurkan persatuan negara ini. Semua suku bangsa yang ada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan individu yang beradab. Mereka memiliki sikap-sikap dan aturan-aturan yang mereka taati masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat. Sudah tentu, apa yang mereka lakukan adalah baik, sehingga bangsa Indonesia dapat hidup dalam persatuan walaupun mereka berasal dari berbagai suku bangsa.

Sila ketiga Pancasila yang berbunyi, “Persatuan Indonesia” mencerminkan pluralisme bangsa Indonesia yang kaya akan budaya dan bahasa. Latar belakang suku bangsa yang beraneka ragam merupakan salah satu ciri dan kebanggaan bangsa Indonesia. Tapi hal ini merupakan pedang bermata dua, saat suku-suku itu tidak lagi memiliki sesuatu yang dapat diperjuangkan bersama. Pancasila merupakan tonggak utama dan saka guru dari sebuah bangunan megah yang dikenal dengan bangsa Indonesia dan bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sila keempat Pancasila yang berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Sebuah kelompok tanpa pemimpin tidak akan meraih sebuah kesepakatan dan kesamaan pemikiran. Setiap orang memiliki pendapat masing-masing dan setiap orang akan mempertahankan pendapatnya tersebut. Dalam keadaan seperti inilah, seorang pemimpin bertugas menjadi penengah dalam pengambilan keputusan. Sama seperti Indonesia yang memiliki pemimpin dalam menjalani kehidupan bernegara baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Indonesia yang mengakui adanya demokrasi di mana rakyat adalah raja, dan negara adalah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemimpin adalah rakyat, rakyat yang memilih, dan semua itu kepentingan rakyat. Dalam menjalankan pemerintahan Indoesia, rakyat menempatkan wakil-wakilnya sebagai pemimpin bangsa dan wakil dari rakyat dalam mengambil keputusan demi kelangsungan hidup negara. Pemimpin dan wakil-wakil yang terpilih seharusnya merupakan orang-orang yang bijaksana dan telah siap mengabdikan dirinya demi kepentingan bangsa dan negaranya.

Sila kelima Pancasila yang berbunyi, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31 telah menyebutkan tentang persamaan derajat, hak, dan kewajiban setiap warga negara Indonesia. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan penghidupan yang layak, persamaan derajat di mata hukum, dan persamaan hak dalam mendapatkan pendidikan. Mereka juga mendapatkan kebebasan dalam menyampaikan pendapat yang bertanggung jawab.

Melihat kembali uraian sila-sila Pancasila, kita dapat menyimpulkan bahwa Pancasila pada dasarnya adalah acuan seluruh warga negara indonesia dalam bertindak dan berpikir. Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur pemerintahan dan warganya. Pemerintah, sebagai komponen warga negara yang menduduki jabatan sebagai penguasa dan penyelenggara negara, merupakan pihak yang memiliki andil besar terhadap pelaksana pembangunan. Namun, nilai-nilai Pancasila sekarang ini justru memudar. Sehingga pembangunan di Indonesia terhambat. Pancasila sangat penting dalam mendukung peningkatan dan pemberdayaan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Sumber daya manusia merupakan kunci pembangunan. Jika Sumber daya manusia unggul maka segala aspek kehidupan akan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya, karena Sumber daya manusia unggul mencerminkan manusia yang berjati diri sebagai pengamalan terhadap nilai-nilai Pancasila.

Pancasila memiliki nilai-nilai yang apabila diamalkan, dapat menjadi fondasi yang kuat pada pembangunan bangsa Indonesia. Secara teoristis, Pancasila merupakan nilai-nilai dasar yang merupakan gabungan dari nilai instrumental dan nilai praksis. Nilai instrumental Pancasila tercermin dalam UUD 1945 maupun hukum perundang-undangan lainnya. Sedangkan nilai praksis tercermin dalam sikap warga negara Indonesia menerapkan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai itu bersifat abstrak, umum, dan relatif tidak berubah, namun maknanya selalu bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Karena Pancasila merupakan dasar untuk mengatur pemerintahan dan warganya, Pancasila memiliki peran sebagai paradigma pembangunan. Pembangunan sendiri memiliki arti upaya-upaya yang dilakukan bangsa untuk meningkatkan mutu dan taraf hidup masyarakat sehingga menjadi lebih baik. Pembangunan dapat dilaksanakan melalui tiga proses, yaitu emansipasi bangsa, modernisasi, dan humanisasi.

Emansipasi wanita, seperti yang dielu-elukan oleh R.A. Kartini, memiliki arti bahwa wanita memiliki derajat yang sama dengan kaum adam. Salah satu contohnya, wanita berhak mendapat pendidikan, yang dahulu hanya diperuntukkan bagi pria. Sama halnya dengan emansipasi bangsa yang memiliki arti bahwa Indonesia memiliki derajat dan kedudukan yang sama dengan negara-negara lain di dunia.

Namun kehidupan nyata masih cukup jauh dari teori pembangunan. Pada masa orde baru, Indonesia mengalami kesejahteraan ekonomi meskipun sumber dana yang didapatkan pemerinah berasal dari hutang luar negeri. Pada tahun 1997-1998, Indonesia mengalami masa yang sangat kelam terutama di bidang ekonomi. Kemiskinan semakin merajalela, produktivitas Nasional menurun, dan tindak korupsi semakin mendarah daging. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya barang impor masuk ke Indonesia, sedangkan Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang sangat berlimpah. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat bersaing di dunia global.

Lebih dari sepuluh tahun, Indonesia telah berusaha bangkit dari keterpurukan. Indonesia bahkan memasuki babak baru di mana demokrasi secara utuh ingin diterapkan dalam pemerintahan. Tapi, pemerintah yang memegang kekuasaan bahkan telah menyalahgunakan kepercayaan rakyat. Pemerintah yang seharusnya mengayomi dan membawa kembali kejayaan Indonesia malah melakukan berbagai hal yang sangat merugikan. Di sinilah, hal yang kita kenal dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) mengajak sebanyak mungkin individu masuk dalam genggamannya dan melupakan ideologi dan kepercayaan mereka. Tidak hanya pemerintah, tapi banyak orang melakukan tindak korupsi bahkan dari hal yang sangat kecil sekalipun yang bahkan sudah dijadikan sebuah kebiasaan. Sedikit tapi banyak, sedikit mengambil milik negara, tapi banyak orang melakukannya. Negara kehilangan hartanya, akhirnya timbulah gap si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Negara tidak dapat lagi menjamin kehidupan yang layak bagi warganya. Akhirnya akan banyak orang yang terpendam potensinya hanya karena masalah biaya. Dengan terpendamnya kemampuan besar mereka dan tidak adanya fasilitas yang mendukung, maka mereka tidak akan menghasilkan apa-apa untuk negaranya. Akhirnya terjadilah kemunduran kualitas sumber daya manusia yang akan berdampak besar pada image bangsa Indonesia di mata internasional.

Modernisasi merupakan upaya sebuah negara dan bangsa untuk mencapai taraf dan mutu kehidupan yang lebih baik. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan sebuah arus positif untuk meningkatan taraf hidup manusia. Misalnya, dengan adanya pesawat, memungkinkan kita bepergian ke belahan bumi lainnya. Dengan adanya handphone kita dapat berkomunikasi dengan banyak orang bahkan mereka yang tinggal sangat jauh dengan kita. Tetapi, saat sebuah bangsa tidak dapat mengimbangi kemajuan zaman dan teknologi ini, maka bangsa tersebut tidak akan bertahan. Bangsa yang kuat akan menguasai bangsa yang lemah. Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga harus terus berkembang dan mengikuti perkembangan zaman tersebut. Bangsa Indonesia tidak dapat menutup diri dari dunia luar dan berpikir kolot. Dalam proses perkembangan dan misi modernisasi ini, bangsa Indonesia akan mengalami banyak rintangan terutama dalam hal kepercayaan dan tingkah laku. Tetapi, selama Pancasila masih diakui dan dapat diamalkan dalam proses modernisasi ini, maka bangsa Indonesia akan dapat bertahan dan bahkan bukan tidak mungkin bangsa Indonesia menjadi selangkah lebih maju dari bangsa lain.

Humanisasi bermakna bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah untuk manusia, dalam artian seluruh masyarakat Indonesia. Teknologi sebagai salah satu bentuk modernisasi hanyalah sarana pembangunan untuk mencapai masyarakat yang maju. Sila pertama dan kedua Pancasila dapat menjadi dasar proses humanisasi. Masyarakat yang beragama, berperi kemanusiaan, dan beradab merupakan ciri-ciri peradaban yang maju. Negara yang berlandaskan Pancasila secara murni akan dapat tercipta situasi yang tentram dan damai. Apabila sikap disiplin, tertib berbasis keagamaan terwujud maka secara otomatis negara akan menjadi lebih maju. Karena salah satu ciri dan syarat negara maju adalah warganya yang memiliki sikap terbuka, disiplin, dan mau mengakui adanya perbedaan, serta memiliki pemikiran logis dalam setiap tindakan yang mereka lakukan.
jadi Analisis nya : 
dengan ini sudah jelas bahwa Pancasila merupakan dasar dari sebuah keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia. Hampir semua masalah kenegaraan sebenarnya dapat diselesaikan dengan menelaah kembali makna sebenarnya dari Pancasila. Saat setiap individu sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia dapat mengamalkan Pancasila dengan baik dan benar, niscaya bangsa Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang kuat, bangsa yang diakui di mata internasional, dan bangsa yang stabil yang tidak dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor negatif dari luar serta menjadi sebuah bangsa yang memiliki negara kesatuan yang utuh dan kuat di berbagai bidang kehidupan.