Jumat, 23 Maret 2012

"Kasus KKN Yang Menghancurkan Jalan Bisnis Dan Politik Di Indonesia"

Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Padahal cita–cita didirikannya negara Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencapai masyarakat adil dan makmur. Salah satu komponen untuk mewujudkan cita-cita tersebut adalah penyelenggaraan negara yang efisien, efektif, dan bersih dan praktek-praktek yang merugikan kepentingan negara dan bangsa. Penyelenggaraan negara dapat terlaksana apabila aparatur negara termasuk aparatur pemerintah di dalamnya dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, profesional, transparan, akuntabel, taat pada aturan hukum, responsif dan proaktif, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, dan bukan mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok atau partai yang berkuasa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kondisi yang dijumpai selama ini, ternyata berbeda dengan harapan. Selama tiga dekade terakhir, telah terjadi pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggungjawab pada Presiden/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam penyelenggaraan negara. Akibatnya, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya tidak dapat berfungsi dengan baik, dan partisipasi masyarakat dalam memberikan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak dapat berkembang. Akibat lainnya, kegiatan penyelenggaraan negara cenderung mengarah pada praktek-praktek yang lebih menguntungkan kelompok tertentu yang pada akhirnya menyuburkan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional.
Berbagai praktek yang membuat penyelenggaraan negara menjadi tidak efisien dan efektif dan menyuburkan praktek KKN antara lain: (1) dominasi partai yang berkuasa dalam lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif yang akhirnya menghambat pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga tersebut; (2) badan-badan peradilan baik organisasi, keuangan, dan sumber daya manusianya berada dibawah lembaga eksekutif, sehingga menghambat penegakan hukum secara adil dan obyektif; (3) moonoloyalitas pegawai negeri dan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) kepada partai yang berkuasa yang pada akhirnya membuat aparatur pemerintah cenderung mendahulukan kepentingan kelompok dari pada kepentingan bangsa dan negara baik dalam pengambilan kebijaksanaan maupun dalam pelaksanaannya; serta (4) terlalu besarnya kewenangan pemerintah pusat dan terlalu kecilnya kewenangan pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri mendorong timbulnya ketidakpuasan dan menghambat partisipasi masyarakat daerah dalam pembangunan di berbagai daerah.
Kurang berfungsinya lembaga-lembaga tersebut di atas, dianggap sebagai salah satu faktor penyebab meluas dan semakin parahnya krisis moneter dan ekonomi dalam dua tahun terakhir ini yang telah berkembang dan mengakibatkan gejolak sosial dan politik yang ditandai dengan rusaknya tatanan ekonomi dan keuangan, pengangguran yang meluas, serta kemiskinan yang menjurus pada ketidakberdayaan masyarakat dan kurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah termasuk aparatur pemerintahan di pusat dan daerah. Hal ini tidak saja merugikan negara dan masyarakat secara materi tetapi juga secara sosial dan budaya.
Contoh Kasus
Kasus HM Soeharto (HMS)
Pemerintah telah meneliti tujuh Yayasan yang diketuai oleh HMS, yaitu Yayasan Dharmais, DAKAB, Supersemar, Dana Sejahtera Mandiri, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Gotong Royong, dan Trikora. Hasil penelitian Pemerintah yang telah dilaksanakan terutama mengenai perolehan dan penggunaan dana Yayasan.
Dana yayasan diperoleh dari berbagai sumber seperti setoran para pendiri, sumbangan dari Korpri, ABRI, karyawan perusahaan swasta serta individu lainnya, sumbangan dari perusahaan swasta, BUMN, instansi Pemerintah, sumbangan dari Bank Pemerintah berupa 2,5% dari laba bersih, sumbangan Wajib Pajak yang ditetapkan dengan Keppres No. 90 Tahun 1995 jo Keppres No. 92 Tahun 1996, dana Banpres, dana reboisasi, dan bahkan APBN (tahun 1997/1998).
Anggaran Dasar Yayasan menetapkan bahwa dana Yayasan yang tidak segera dibutuhkan disimpan/dijalankan menurut cara-cara yang ditentukan oleh pengurus dan diperlukan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Ketua Yayasan. Namun dalam penelitian ditemukan bahwa selain digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan tujuan Yayasan, terdapat pengeluaran lain yang menyimpang dari Anggaran Dasar Yayasan. Dana Yayasan dipinjamkan tanpa bunga kepada kelompok Nusamba, dipinjamkan dengan bunga 16% per tahun kepada PT Kiani Kertas dan Kiani Sakti, penyertaan modal Yayasan kepada PT. Sempati, Kelompok Nusamba, Bank Umum Nasional, dan Bank Perkreditan Rakyat, serta disimpan dalam deposito.
Penelitian atas Yayasan yang diketuai oleh HMS menunjukkan adanya Keputusan Presiden dan Peraturan lainnya yang membebani masyarakat dengan berbagai sumbangan. Peraturan tersebut, khususnya Keputusan Presiden No. 90 Tahun 1995 jo Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1996 bertentangan dengan amanat dan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menggariskan bahwa setiap tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat sebagai pajak dan lain-lain, harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan DPR. Di samping itu, terdapat indikasi H. M. Soeharto, selaku Ketua Yayasan, tidak mematuhi sepenuhnya Anggaran Dasar Yayasan dalam penggunaan dana-dana Yayasan. Oleh karena ada dugaan penyimpangan tersebut, kasus Yayasan HMS ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Sebagai tindak lanjut penanganan Yayasan HMS, Pemerintah mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menerbitkan Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1998 yang menghentikan dana-dana yang masuk ke Yayasan dengan mencabut Keppres No. 90 Tahun 1995 dan No. 92 Tahun 1996;
b. Menerbitkan Instruksi Presiden No. 20 Tahun 1998 yang ditujukan kepada para Menteri, Gubernur/KDH Tingkat I, Kepala LPND, Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/BUMD untuk mencabut semua ketentuan Menteri/Kepala LPND/Gubernur/Bupati/Walikotamadya dan Direksi BUMN/BUMD yang menjadi dasar perolehan dana bagi semua Yayasan, termasuk Yayasan yang diketuai oleh HMS. Sebagai tindak lanjut Inpres No. 20 Tahun 1998 tersebut, Menteri Keuangan telah mengeluarkan surat No. S.475/MK.01/1998 untuk mencabut fasilitas pembebasan pajak atas bunga deposito dan tabungan kepada 11 Yayasan, yaitu: Yayasan Supersemar, Badan Pengelola Dana ONH, Yayasan DAKAB, Yayasan Amal Abadi Bea Siswa ORBIT, Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (YDSM), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dharma Tirta, Yayasan Amal Bhakti Ibu, Lembaga GNOTA, Yayasan Dharmais dan Yayasan Kesejahteraan Sosial Dharma Putra Kostrad;
c. Melaksanakan audit legal dan finansial terhadap Yayasan yang menerima dana berdasarkan Keppres No. 90 Tahun 1995 dan No. 92 Tahun 1996;
d. Menagih dan menarik kembali dana Yayasan yang dipinjamkan atau yang digunakan oleh kroni-kroni HMS, yaitu Kelompok Nusamba dan PT Kiani Kertas. Ketua Kelompok Nusamba/Komisaris Utama PT Kiani Sakti/ PT Kiani Lestari/ PT Kiani Kertas tanggal 14 Agustus 1999 menyatakan bersedia membayar pinjaman tersebut beserta bunga yang belum dibayar dalam jangka waktu satu tahun. Menko Bidang Kesra dan Taskin melalui surat No. B-190/Menko/Kesra/VIII/1999 tanggal 20 Agustus 1999 menyatakan bahwa dengan kesediaan tersebut tidak ada lagi dana Yayasan yang dipinjamkan;
e. Koordinasi pelaksanaan operasional tujuh Yayasan HMS, sejak tanggal 22 November 1998, diserahkan oleh HMS kepada Pemerintah c.q. Menteri Negara Koordinator Bidang Kesra dan Taskin. Penugasan kepada Menko Kesra dan Taskin tersebut dikukuhkan dengan Keputusan Presiden No. 195 Tahun 1998.
Pemerintah telah pula meneliti kebijaksanaan Mobil Nasional (Mobnas) dalam kaitan dengan kemungkinan adanya KKN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa materi Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 telah mengubah dan memperluas pengertian mobil nasional yaitu mobil yang dibuat di luar negeri oleh tenaga kerja Indonesia diperlakukan sama dengan mobil nasional yang dibuat di dalam negeri sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996. Padahal dalam kenyataannya, tenaga kerja Indonesia yang dilaporkan PT Timor Putra Nasional sebagai pembuat mobil nasional di luar negeri (Korea Selatan), sebenarnya hanyalah tenaga kerja magang raja. Juga ditemukan bahwa Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1996 dan Keppres No. 42 Tahun 1996 diterbitkan pada tanggal yang sama (yaitu 4 Juni 1996), sehingga diperlukan penyelidikan menurut hukum, untuk mengetahui apakah ada penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Keppres No. 42 Tahun 1996, dan apakah penerbitan Keppres No. 42 Tahun 1996 tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan kroni tertentu.
Kasus KKN yang melibatkan kroni merupakan kasus KKN terbanyak dengan nilai terbesar. Penelitian atas KKN yang dilakukan oleh kroni HMS menunjukkan adanya beberapa ketidakwajaran antara lain:
a. Kontrak-kontrak bisnisnya mengandung butir-butir yang sangat menguntungkan kelompok usaha milik kroni tersebut dan merugikan negara;
b. Penguasaan sumber daya alam (hutan dan lahan) yang berlebihan;
c. Peraturan perundangan yang memberikan dukungan khusus kepada kelompok usaha kroni, tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
KKN yang melibatkan kroni terjadi hampir di semua sektor, antara lain kehutanan (penguasaan lahan secara berlebihan dan penggunaan dana reboisasi di luar maksud reboisasi), perkebunan (penguasaan lahan secara berlebihan), pertambangan (kontrak pertambangan dan perdagangan komoditi tambang khususnya batu bara), minyak dan gas bumi (intermediasi dalam impor dan ekspor minyak, pengadaan barang dan jasa, proyek pembangunan), ketenagalistrikan (proyek pembangunan pembangkit listrik, pengadaan barang dan jasa, dan usaha listrik swasta), perhubungan (pengoperasian fasilitas milik PT Garuda Indonesia, keagenan, intermediasi pengadaan pesawat, dan pengelolaan telekomunikasi), pekerjaan umum (kerjasama pembangunan dan pengoperasian jalan tol), perdagangan (pengadaan dan perdagangan beras, gula, jagung, cengkeh, dan aluminium ingot), dan lain-lain (stasiun TV, pengelolaan kawasan tertentu, dll.). Penghapusan KKN yang melibatkan kroni dilakukan langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan menggunakan pedoman yang telah ditetapkan Pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar